Beranda | Artikel
Haji Itu Pemborosan?
Kamis, 27 Agustus 2015

Haji Itu Pemborosan dan Banyak Merugikan?

Ada salah satu dosen universitas d jakarta, dia menyatakan, dalam kasus Indonesia saat ini, praktik haji dan umrah yang dilakukan terkesan menghabiskan dana yang sangat besar yang sebenarnya bisa digunakan untuk kepentingan membangun kesejahteraan masyarakat.  Bila ajaran agama ternyata justru berkonsentrasi hanya pada kepentingan individu atau justru merugikan masyarakat, kita harus ragukan apakah ajaran agama itu memang datang dari Allah.

Mohon tanggapannya..

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Meragukan haji apakah termasuk bagian ajaran Allah ataukah tidak, termasuk kekufuran. Mengingat banyaknya dalil dalam al-Quran maupun hadis tentang haji. Dan syarat mukmin, dia tidak boleh meragukan keterangan yang sudah jelas kebenarannya dari Allah, seperti haji.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu…” (QS. Al-Hujurat: 15).

Syarat mukmin dalamayat di atas, tidak boleh ragu dengan keimanannya.

Karena itu, kita tidak perlu memperdebatkan kebenaran ibadah haji yang itu bagian dari syariat Allah. Jika kita masih memperdebatkannya, karena kita tidak ingin lagi ada orang yang meragukannya. Jangan sampai ada muslim yang terpancing melakukan kekufuran, gara-gara tindakan orang liberal.

Islam & Kesejahteraan Masyarakat

Banyak orang yang mulai menggugat ajaran islam dengan jargon kesejahteraan masyarakat. Diantara yang banyak digugat adalah masalah haji. Mungkin dulu anda pernah mendengar ada orang liberal yang mengusulkan agar wukuf di arafah digeser di luar tanggal 9 Dzulhijjah. Agar tidak terlalu padat karena hanya numpuk di hari arafah. Atau orang yang menggugat ibadah qurban, karena itu dinilai pemborosan.

Anda bisa perhatikan, inilah yg membedakan mukmin dan bukan mukmin. Dan berkali-kali kita sampaikan, bahwa JIL itu potret manusia munafiq di alam raya ini. Dan manusia ada 3 jenis: mukmin, kafir, dan munafiq.

Sebagai mukmin kita memahami bahwa hidup di dunia, bukan semata untuk mensejahterakan dunia. Apa yang menguntungkan, ketika hidup di dunia hanya untuk mensejahterakan dunia?. Dunia tempat bekerja. Jika bekerja hanya untuk meningkatkan karir dan karir, lalu apa yang bisa kita nikmati.

Kita hidup di dunia untuk akhirat. Ini yang paling utama. Sehingga rasa capek dunia, terbalas dengan kenikmatan di akhirat. Meskipun kita diperintahkan untuk memiliki bekal, agar bisa bertahan hidup di dunia.

Sahabat & Pemborosan

Ketika Khamr diharamkan, secara perhitungan ekonomi, Madinah sangat dirugikan. Karena devisa madinah menjadi sangat berkurang. Tidak ada komoditas yang mereka memiliki nilai besar untuk dijual ke Syam.

Disamping itu, semua sahabat membuang Khamr mereka, padahal itu sudah siap untuk dijual.

Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bercerita,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah di Madinah,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُعَرِّضُ بِالْخَمْرِ وَلَعَلَّ اللَّهَ سَيُنْزِلُ فِيهَا أَمْرًا فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهَا شَىْءٌ فَلْيَبِعْهُ وَلْيَنْتَفِعْ بِهِ

Wahai manusia, sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengkritik khamr. Mungkin Allah akan menurunkan ayat lain tentang khamr. Karena itu, siapa yang masih memiliki khamr, segera dijual atau manfaatkan.

Beliau sampaikan ini, sebelum ayat tentang larangan khamr diturunkan.

Abu Said melanjutkan,

Tidak berselang lama, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى حَرَّمَ الْخَمْرَ فَمَنْ أَدْرَكَتْهُ هَذِهِ الآيَةُ وَعِنْدَهُ مِنْهَا شَىْءٌ فَلاَ يَشْرَبْ وَلاَ يَبِعْ

Sesungguhnya Allah telah mengharamkan khamr. Siapa yang telah mendengar ayat ini, sementara dia masih memilikinya, tidak boleh diminum, maupun dijual.

Spontan, masyarakat langsung mendatangi gentong-gentong khamr yang mereka miliki di pinggir jalan Madinah, dan mereka menumpahkannya. (HR. Muslim 4126).

Ada yang lebih sangar lagi. Peristiwa yang dialami sahabat Abu Thalhah. Beliau diamanahi untuk memegang harta anak yatim. Oleh Abu Thalhah, harta ini dibelikan khamr, agar hasilnya lebih banyak.

Apa yang bisa anda bayangkan, ketika Allah turunkan ayat yang mengharamkan khamr sebelum dia sempat menjualnya.

Anas bin Malik menceritakan, Abu Thalhah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يا نبي الله، إني اشتريتُ خمراً لأيتام في حجري؛ أَصْنَعُهُ خَلًّا؟

Ya Nabi, saya membeli khamr untuk anak-anak yatim di asuhanku. Bolehkah saya buat jadi cuka?

Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menjawab dengan dua kata, “Tidak boleh.”

Abu Thalhah-pun membuangnya. (HR. Ahmad 13733 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Mereka tidak berfikir, mengapa turunnya ayat khamr tidak ditunda, agar simpanan khamr itu bisa diuangkan.

Mengapa islam tidak memperhatikan keadaan anak yatim yang diasuh Abu Thalhah. Andai ayat larangan itu bisa ditunda, tentu mereka tidak  dirugikan.

Andai orang liberal hidup di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka pasti akan menggugat ayat ini.

Kasus kedua, ketika Allah mengharamkan keledai.

Keledai termasuk hewan tunggangan utama bagi masyarakat ketika itu. Pada saat perang Khaibar, para sahabat menyembelih keledai untuk makanan pasukan.

Anas bin Malik menceritakan peristiwa Khaibar,

Ada orang yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan melaporkan, “Banyak keledai yang disembelih untuk dimakan.”

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diam saja.

Kemudian datang orang kedua, “Banyak keledai yang disembelih untuk dimakan.”

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih diam saja.

Kemudian datang orang ketika, “Banyak keledai yang disembelih.”

Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang untuk mengumumkan

إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الأَهْلِيَّةِ

bahwa Allah dan Rasul-Nya, melarang kalian untuk makan daging keledai jinak.

Kata Anas,

فَأُكْفِئَتِ الْقُدُورُ ، وَإِنَّهَا لَتَفُورُ بِاللَّحْمِ

Periuk-periuk lalu ditumpahkan, padahal penuh dengan daging. (HR. Bukhari 4199).

Mareka tidak berfikir, mengapa wahyu haramnya keledai tdk disampaikan sejak kemarin, sebelum keledai ini disembelih. Bukan setelah keledai ini disembelih. Seharusnya ini bisa dimanfaatkan untuk kendaraan.

Lagi-lagi, andai orang liberal ada di tengah mereka, tentu akan melakukan gugatan. Ini mubadzir, dan mubadzir temannya setan. Rasanya sulit membayangkan nasib orang-orang liberal itu ketika mereka hidup di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat.

Seharusnya kita paham, iman mengendalikan dunia kita, bukan dunia mengendalikan iman kita.

Selajutnya Jangan Disebarkan

Kita sangat menyayangkan ketika kaum muslimin jadi begitu gempar mendengar celoteh ini. Andai tidak digubris, mungkin akan lebih menyakitkan orang-orang munafiq itu. Karena Orang liberal semakin bangga ketika pemikirannya disebarkan. Bukankah tujuan mereka hanya ingin bikin onar?

Sayangnya banyak media islam yang mencopas beritanya dari situs-situs liberal. Ini dibahas di konsultasisyariah, semata karena ini sudah menyebar.  Dan sekaligus memberikan pelajaran tambahan pelajaran bagi kaum muslimin.

Sedikit cerita. Cerita ini saya dapatkan dari Ustad Aris Munandar. Beliau dengar dari pelaku sendiri, Ustad Hartono Ahmad Jaiz.

Seperti yang kita kenal, Beliau rajin sekali mendebat orang-orang liberal. Terutama pemikiran yang sempat menyebar di masyarakat. Untuk yang belum tersebar, lebih beliau diamkan.

Hingga suatu ketika UA (salah satu dedengkot JIL) punya tulisan. Pastinya menyimpang, dan ingin bikin gempar. Sayangnya tidak ada yang ngasih komentar. Tiba-tiba, si UA menghubungi Ustad Hartono Ahmad Jaiz, minta tolong agar tulisannya dibantah. Biar makin tenar.

Apa sebabnya? Tulisan mereka ada yang menilai, untuk ditukar dengan dolar. Semakin bikin gempar di masyarakat, makin besar nilai dolarnya.

Semoga Allah melindungi kita dari kejahatan JIL.

Amiin

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/25442-haji-itu-pemborosan.html